Guru sebagai Pengajar dan Pendidik ?

Juli 10, 2009 at 12:56 pm Tinggalkan komentar

Bila ditinjau dari sebutan yang diberikan pada seorang pengajar di Indonesia, maka kita bisa menarik suatu opini bahwa sebutan ‘guru’ yang merupakan gelar yang diberikan kepada seorang pengajar adalah sebutan yang sangat mulia sekaligus mengandung tanggung jawab yang sangat berat pula. Bahkan di negara-negara berbahasa Inggris,  menggunakan istilah ‘teacher’ yang berarti pengajar, bukannya ‘educator’ yang berarti pendidik untuk menyebut guru. Sedangkan istilah ‘guru’ mempunyai arti yang sangat mulia dan merupakan orang yang berkemampuan untuk bisa mengajar dan mendidik, serta tugas-tugas pendidikan lainnya. Dalam UU No.14 tahun 2005, tentang Guru dan Dosen pada pasal 1 dinyatakan bahwa Yang dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, megarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Apakah sudah layak bila kita para guru disebut sebagai pengajar dan pendidik? Atau barangkali kita masih hanya pada taraf mengajar saja, belum sampai pada tugas  mendidik, apalagi tugas-tugas yang lainnya seperti membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi. Lalu apakah pantas kita disebut GURU?

Mengajar

Mengajar adalah menyampaikan/memberikan/mentransfer ilmu pengetahuan  kepada siswa/murid. Pengajaran hanya menekankan pada aspek pengetahuan, sehingga ketika siswa telah mengerti dan memahami materi pelajaran yang diajarkan maka pengajaran bisa dikatakan berhasil. Sehingga bagi seorang pengajar tidak begitu risau dengan sikap dan perilaku siswa-siswanya, karena hal tersebut bukanlah merupakan tanggung jawabnya. Apakah para siswanya berperilaku baik atau buruk adalah hal yang tidak penting bagi mereka. Oleh sebab itu ada istilah ‘mengajar membaca’, ‘mengajar menulis ’, ‘mengajar bahasa Inggris’, ‘mengajar  berhitung’ dan  lain sebagainya. Tanggung jawab pengajar hanya membuat mereka bisa menulis, membaca, berbahasa Inggris dan berhitung. Persoalan apakah para siswa menggunakan kemampuan membaca, menulis, berbahasa Inggris dan berhitung dalam kehidupan mereka sehari-hari untuk memecahkan permasalahan mereka tidaklah diperhatikan bagi seorang pengajar, yang penting para siswa telah menguasai kemampuan yang diajarkan. Pada sisi lain seorang pengajar tidak mempersoalkan tentang tingkah lakunya, apakah tingkah laku mereka patut ditiru oleh siswa atau tidak. Mereka bisa melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan sebagai seorang panutan, seperti merokok di sembarang tempat, mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh, menggunjing dan lain-lain, walaupun hal-hal tersebut tidak sesuai etika dan moral yang baik. Menurut asumsi penulis bahwa sebagian dari kita para ‘guru’ masih hanya melakukan tugas sebagai pengajar. Hal ini dibuktikan dengan makin menurunnya moral para siswa di berbagai tempat, seperti menurunnya penghormatan mereka pada guru, tidak jujur, suka berbohong, melecehkan orang tua, menghina teman dan masih banyak perilaku lain yang bertentangan dengan etika dan norma yang berlaku, disamping kurangnya pendidikan dalam keluarga mereka dan kurangnya tauladan dari masyarakat.

Mendidik

Aktifitas mendidik adalah melakukan pembinaan sikap dan tingkah laku para siswa agar mereka menjadi manusia yang baik dan berguna bagi orang tua, masyarakat, nusa, bangsa dan agama. Hal ini lebih cenderung pada aspek emosional, mental-spritual dan tingkah laku. Tugas ini pada dasarnya yang harus dilakukan oleh orang tua dalam sebuah keluarga yang merupakan lingkungan pertama bagi anak. Orang tualah yang paling bertanggung jawab terhadap sikap-mental dan spiritual anak. Apakah anak tersebut menjadi anak yang baik atau buruk sangat bergantung pada pilihan-pilihan yang diberikan orang tuanya. Sedangkan guru merupakan penerus untuk melakukan pembinaan dan bimbingan kepada anak tersebut. Ketika anak telah dibina dan dibimbing dengan benar dalam keluarga mereka, sehingga mereka menjadi anak yang baik, maka sebagai hasilnya anak tersebut akan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah sebagai lingkungan kedua mereka. Namun sebaliknya jika anak tidak dididik dengan benar dalam keluarga maka mereka akan mengalami kesulitan dalam memasuki lingkungan sekolah, yang pada muaranya kesulitan tersebut bukan hanya bagi mereka sendiri, tetapi juga gangguan bagi teman-teman dan lingkungan sekitar mereka. Namun demikian, hal ini sering kali tidak disadari oleh kebanyakan orang tua, sehingga mereka bahkan secara membabi buta menyerahkan pendidikan anak-anak mereka sepenuhnya kepada guru di sekolah. Padahal secara matematis, akumulasi waktu yang dimiliki anak sebagian besar adalah di rumah atau di luar sekolah, bahkan untuk sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum terpadu antara pelajaran umum dan pelajaran agama yang belajarnya dari pagi sampai sore-pun, waktu terbanyak anak adalah di rumah, apalagi pada sekolah-sekolah umum yang waktu belajarnya hanya beberapa jam saja setiap hari. Betapa naifnya menyerahkan taggung jawab pendidikan anak-anak mereka ke sekolah sepenuhnya. Tentu saja tanggung jawab tersebut tidak mungkin bisa dipenuhi. Dan kesalahpahaman inilah yang menjadi salah satu penyebab dekadensi moral dan perilaku bangsa kita saat ini. Orang tua dan masyarakat juga sering hanya menyalahkan sekolah ketika anak-anak mereka berperilaku buruk, sehingga sering kita jumpai kebiasaan yang terjadi di masyarakat dengan bertanya, “Sekolahnya di mana?” ketika anak tersebut berperilaku buruk, namun ketika ada anak yang berperilaku baik, pertanyaannya menjadi, “Dia anak siapa?” Artinya bahwa ketika anak berbuat buruk, maka nama buruk itu dialamatkan ke sekolahnya, tetapi ketika seorang anak berperilaku baik, yang mendapat nama baik adalah orang tuannya.

Untuk membentuk anak-anak yang bersikap mental dan perilaku yang baik serta berkualitas, bukanlah sesuatu yang mudah. Diperlukan tenaga pendidik(guru) yang kompeten dan berpengalaman, dan tentu saja untuk menghasilkan guru yang seperti itu tidaklah mudah dan juga tidak murah. Maka sangatlah riskan bila masyarakat menginginkan anak-anak mereka menjadi orang baik dan kompeten, namun pada sisi lain, mereka enggan untuk mengeluarkan dana yang cukup untuk pendidikan anak-anak mereka, karena pendidikan pada dasarnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah, namun juga sebagai tanggung jawab masyarakat dan orang tua. Seperti dinyatakan dalam Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional pasal 9 bahwa : Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.

Pada sisi lain, masih banyak hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk membentuk guru-guru kompeten, baik dalam bidang pedagogik, kepribadian, sosial dan professional dan guru-guru yang bukan hanya bisa mengajar, tetapi juga mendidik. Dan kitapun sebagai guru harus pro-aktif meningkatkan kompetensi diri kita, kalau kita tak ingin tersisih dan tertinggal. Akhirnya, selamat berjuang rekan-rekan guru, mari kita tundukkan tantangan yang  menghadang kita.

Entry filed under: Uncategorized.

Mengapa Bahasa Inggris harus kita kuasai di era globalisasi? IMPROVE YOUR ENGLISH LEARNING SKILLS

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


CALENDER

Juli 2009
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Komentar Terbaru

Mr WordPress pada Hello world!